Bismillah...
Tulisan pertama di tahun 2020 ini
cukup emosional bagi Ambu. Rasanya berat setiap mau mulai menulis, ada rasa
sesak di dada dan air mata yang tertahan. Namun semoga ada hikmah dan manfaat
yang bisa diambil dari situ.
Kejadiannya adalah hari Kamis, 16
Januari 2020. Tak ada yang berbeda dengan aktivitas Ambu kala itu yaitu sedang
menyuapi kedua anak Ambu, Aa Umar dan Dedek Aydin. Menu makan siang hari itu
adalah sepiring nasi dan ikan kembung goreng yang bumbunya Ambu tumbuk sendiri.
Memang ikan kembung ini menjadi favorit Aa dan Dedek.
Sekitar pukul 11.30 tiba-tiba Aa
Umar laporan bahwa ada duri ikan di mulutnya. Ambu yakin bahwa tiap hendak nyuapin, duri ikan sudah Ambu singkirkan dan Ambu malah memaksa Aa Umar untuk tetap menelannya. Lalu keadaan diperparah dengan Aa Umar
yang muntah dan mengeluh sangat kesakitan. Untungnya hal itu tidak berlangsung
lama. Setelah lewat waktu dzuhur, saatnya jadwal anak-anak untuk tidur siang.
Aa Umar nampak gelisah namun tidak menunjukkan rasa sakit seperti tadi. Memang
Aa Umar ini agak kurang suka jika diminta untuk tidur siang. Sekitar pukul
14.30, Aa Umar sesekali mengeluh lagi bahwa di sekitar tenggorokannya sakit.
Penasaran, Ambu coba cek. Tidak ada duri apapun. Untuk penanganan awal, Ambu
minta Aa Umar menelan nasi kepal dan makan buah pisang. Tapi ia tetap mengeluh
kesakitan. Saat dicek lagi, astaghfirulloh, ternyata memang ada duri ikan yang
menancap di pangkal lidahnya.
Saat itu yang ada di pikiran Ambu
adalah harus ada bantuan medis karena Ambu sama sekali ga bisa ngapa-ngapain untuk ambil durinya.
Setelah menghubungi dokter anak yang biasa menangani Aa Umar, maka diputuskan
untuk menemui dokter THT. Terlebih Ambu juga tanya ibu-ibu di WAG Orami
Toddler, menurut mereka sebaiknya langsung ke dokter saja.
Sekitar pukul 15.00 Ambu berangkat
menuju rumah sakit. Astaghfirulloh... Kala itu tengah hujan angin, Ambu bertiga
menggunakan jasa Grab Car. Terlihat si sopir juga cukup panik karena kondisi
saat itu tidak bagus untuk melakukan perjalanan. Ditambah kami harus cari jalan
alternatif agar terhindar dari macet. Kami melewati perkampungan dan ada
perlintasan rel kereta api tidak berpalang otomatis, dengan kondisi hujan angin
seperti itu, tidak ada sukarelawan yang biasa menjaga di sana. Kami berusaha
hati-hati dan setelah waktu tempuh selama satu jam, kami sampai di rumah sakit.
Buru-buru Ambu menuju poli THT
membawa Aa Umar yang kesakitan dan Dedek Aydin yang masih bingung karena baru
bangun tidur. Setelah coba daftar, petugas RS mengabarkan bahwa dua orang
dokter yang praktik hari itu tidak menerima pasien tanpa appointment
sebelumnya. Ambu diminta datang lagi keesokan harinya. Agak kalut, Ambu mencoba
cara lain yaitu apa bisa masuk ke UGD dulu baru nanti ditangani dokter THT. Di
pikiran Ambu kala itu, Aa Umar harus segera diberi tindakan. Lalu saat berada
di ruang UGD, dokter jaga bilang bahwa mereka tidak punya alat khusus untuk
menangani Aa Umar. Agak panik dan kecewa, Ambu mencoba menenangkan diri. Ambu
lihat Aa Umar dan Dedek Aydin yang mulai lapar. Ambu beri mereka susu kemasan
terlebih dahulu sambil Ambu terus berpikir langkah apa yang harus Ambu lakukan.
Di situ Ambu mulai bingung, kalau Ambu harus daftar poli satu hari sebelum
konsul, itu maksudnya gimana, ini kan baru kejadian hari ini, apa ga ada cara
lain. Bener-bener bingung. Di tengah
kebingungan, salah satu tenaga medis menyarankan untuk pergi ke Rumah Sakit
Khusus THT yang ternyata berada persis di belakang rumah sakit ini.
Sampailah Ambu di RS THT tersebut.
Setelah daftar dan harus menunggu antrian, Ambu suapin dulu Aa Umar dan Dedek
Aydin. Sesekali tetap bermain dan bersenda gurau. Ambu ajak ke playground,
mencoba menjaga fitrah mereka yang gemar sekali bermain walau Ambu dalam
kondisi yang cukup kalut. Begitu dipanggil ke Poli, ternyata Aa Umar harus
menerima tindakan. Aa Umar dibius lokal lalu duri ikannya diambil. Selesai.
Ternyata tindakan tadi tidak sesuai
ekspektasi. Aa Umar tidak kooperatif bahkan saat baru diminta buka mulut untuk
disemprot obat bius lokal. Saat itu dokter bilang agar Aa Umar dibius total dan
masuk ruang operasi. Terlebih durinya menancap di amandel kiri Aa Umar yang
kala itu sedang bengkak. Astaghfirulloh... Ya Alloh...
Saat itu juga Ambu coba hubungi
Abah. Iya, sebelumnya Ambu ga cerita sama siapa-siapa. Ambu merasa bahwa Ambu
bisa menyelesaikan ini semua. Sendiri. Nyatanya, butuh persetujuan orangtua
untuk tindakan operasi karena Aa Umar masih di bawah umur. Awalnya Ambu ingin meneladani
Ummu Sulaim (Rumaysho) yang bahkan menunda mengabarkan kematian anaknya pada
sang suami, sampai suami sudah dalam kondisi tenang. Tapi ternyata Ambu tidak cukup kuat untuk menghadapi hal ini tanpa Abah.
Hari itu, seiring Ambu menerobos
hujan menuju rumah sakit, Abah pun sedang menempuh perjalanan menuju Aceh. Abah
ada dinas selama lima hari dan tidak bisa ditinggalkan. Akhirnya setelah Ambu
tau bahwa Abah sudah sampai Aceh, sedang beristirahat, Ambu coba video call.
Sebelumnya Ambu minta Abah tetap tenang padahal saat itu yang butuh ketenangan
adalah Ambu. Setelah video call itu, Abah panik. Abah berulang kali bilang,
"Mbu, Abah harus ngapain?"
Akhirnya Ambu minta bantuan teknis
dan support moril dari Abah. Biasanya kalau ada kejadian yang tak terduga, kami
melaluinya bersama. Namun kali ini Ambu harus bisa menghadapi sendiri.
Isi chat dari Abah
Setelah masuk kamar perawatan, malam
itu sekitar pukul 22.00 Aa Umar harus cek darah di laboratorium rumah sakit
pertama yang kami datangi tadi sore. Itu kali kedua Ambu naik mobil ambulans.
Sejujurnya, Ambu trauma tiap kali mendengar sirine ambulans. Sirine ambulans
mengingatkan Ambu saat Ayah wafat dan sekarang Ambu bersama anak-anak harus
naik ambulans. Alhamdulillah Ambu bisa mengendalikan emosi kala itu dan kembali
fokus untuk mencoba menghibur Aa Umar yang nampak kecewa sama Ambu. Aa Umar ga
mau pake jarum suntik karena sakit, petugas lab mencoba menghibur dengan
berbohong bahwa jarum suntik itu gabikin sakit. Namun Ambu alihkan lagi, Ambu
bilang, "Iya ini jarum suntik bikin sakit sedikit, Aa Umar tahan ya, ada Ambu di
sini yang pegangin Aa, kalau Aa mau nangis juga ga apa-apa, ini Aa Umar harus
diperiksa darahnya, apa ada kuman atau engga, yuk kita lawan kumannya. Sebentar
ya, Sayang..."
Aa Umar tetep nangis kejer, setelah
itu maunya digendong dan terus ngomel kenapa harus pake jarum suntik.
Mengabari Abah ketika sedang di dalam mobil Ambulans
Sekembalinya ke RS THT, malam itu Aa Umar gelisah. Dia jadi
batuk-batuk dan sering terbangun untuk bilang bahwa dia kesakitan. Mungkin efek
luka yang ditimbulkan dari duri ikan tersebut. Malam itu perasaan Ambu juga campur
aduk, sudah pasti menyesal, menyalahkan diri sendiri namun harus
mengesampingkan segala perasaan sedih demi tetap fokus pada kesembuhan Aa Umar.
Esoknya mulai jam 10 pagi, Aa Umar harus mulai puasa. Setelah visit dari dokter
THT dan dokter anestesi, Aa Umar diminta oleh dokter anak agar dilakukan
tindakan nebu dulu (di-uap) untuk menangani batuknya.
Tiba saatnya waktu operasi.
Teknisnya, Dedek dititipkan ke perawat di lantai 3 sedangkan Ambu menunggui Aa di
lantai 2. Demi menimalisasi trauma, Ambu ikut ke ruang operasi untuk proses
anestesi. Jadi Aa Umar diminta untuk meniup balon yang di dalamnya sudah
terdapat obat bius. Ambu gendong Aa Umar dan saat memasuki ruang operasi, Ambu mulai
tegang. Perasaan ini sampai ke Aa Umar. Dia ikut tegang sehingga dia memeluk
Ambu sangat erat. Dia bertanya ini apa, itu apa. Dia ga mau sendiri, ga mau
ditinggal. Bahkan dia ga mau dibaringkan di meja operasi. Dia ga mau dipasang
alat-alat untuk memantau detak jantung, dan sebagainya. Mencoba tenang, Ambu
arahkan Aa Umar. Alhamdulillah Aa Umar mulai kooperatif. Dia mau meniup balon
walau sebelumnya Ambu harus niup duluan, katanya. Sedikit cerita, Aa Umar itu
begitu percaya sama Ambu makanya Ambu ga pernah bohongin Aa Umar dan ga pernah
mengkhianati kepercayaan tersebut. Setelah sounding yang cukup alot ternyata
ada perawat laki-laki yang mulai memegangi Aa Umar untuk segera dibius, Ambu
ingin meminta waktu tambahan, di dalam hati Ambu ngomong: tolong janganlah paksa anak saya seperti itu. Saya
ibunya, biar saya yang membujuk dia. Dia anak baik dan penurut. Tapi memang mungkin
prosedurnya seperti itu dan karena dipaksa tadi, Aa Umar nangis kejer. Ambu tetep pegang tangannya,
Ambu cium wajah Aa, Ambu bisa lihat air matanya mengalir seiring Aa Umar mulai
ga sadarkan diri. Ya Alloh... Ini dosa hamba yang mana sehingga harus melihat
anak sendiri dalam kondisi seperti itu. Lalu petugas tadi meminta Ambu menunggu
di luar. Dengan langkah berat, dokter anestesi mencoba menenangkan dan meminta
ma'af kalau Aa Umar harus dibius total.
Di sinilah tangisan Abah dan Ambu pecah
Keluar ruangan operasi, Ambu menuju
lantai 3 untuk lihat kondisi Dedek Aydin. Alhamdulillah Dedek anteng ditemani
perawat-perawat sana yang sangat ramah. Lalu Ambu diminta ke lantai 2 lagi
untuk menunggu Aa di dekat recovery room. Di sana Ambu sama sekali ga tenang.
Waktu terasa lama apalagi Ambu sendirian. Seakan sampai ke Abah, saat itu Abah
tanya apa Ambu bisa dihubungi dan sesaat setelah Abah menyapa
"Assalamu'alaikum, Mbu...”, tangis kami berdua pecah. Cukup lama
Abah dan Ambu menangis. Memang bagi Abah dan Ambu diberi ujian anak sakit
merupakan pukulan terbesar. Hancur rasanya… Anak yang biasanya ceria, sehat,
qurrota a’yun, harus tergolek lemah. Ambu dengar di sebrang telepon sana bahwa
Abah izin dulu belum bisa ngantor, Abah mau diem di masjid sampai Aa Umar
selesai operasi dan kembali sadar. Setelah beragam pernyataan berisi kesedihan
dan penyesalan, Abah dan Ambu kembali saling menyemangati satu sama lain.
Berbagi perasaan yang sama, berbagi semangat yang sama, walau raga tidak saling
berdekatan. Tak ada pelukan seperti biasa ketika kami tengah ditimpa ujian oleh
Alloh SWT.
Ambu ga akan lupa momen itu, sendirian di depan ruang operasi, merasa ga punya siapa-siapa. Hanya berserah kepada Alloh SWT dan terus memohon ampunan. Ambu ternyata lebih ga sanggup kalau harus ‘berpisah’ dengan anak-anak. Biarlah Ambu begitu kelelahan fisik dan mental asalkan bisa tetap bersama anak-anak dalam keadaan sehat dan ceria. Tak lama kemudian, perawat dari
lantai 3 datang mengantarkan Dedek Aydin, katanya mulai nyariin ibunya. Ambu
peluk dan gendong Dedek Aydin. Saat itu Ambu seperti mempunyai kekuatan lagi.
Rasanya lama sekali menunggu operasi
kala itu. Dokter bilang tindakannya hanya sebentar. Mungkin menunggu Aa Umar
sadar yang cukup memakan waktu. Sambil bermain dengan Dedek Aydin, sayup-sayup
terdengar suara tangisan Aa Umar dari recovery room. Benar saja, Ambu dipanggil
dan diminta masuk ke ruangan tersebut. Sambil menggendong Dedek, Ambu
menghampiri Aa Umar yang mulai sadar, dia nangis teriak-teriak namun suaranya
agak hilang. Dia begitu berontak dan gelisah. Sampai akhirnya Aa Umar tau ada
Ambu di situ, Aa minta gendong dan ga mau lepas. Perlahan Aa Umar tenang dan ga
nangis lagi walau pelukannya begitu erat. Ambu tau bahwa Aa Umar trauma, pisah
dari Ambu dan berada di antara orang asing. Ambu elus punggungnya, Ambu cium
wajahnya, Ambu kasih tau bahwa Aa udah bareng Ambu. Ambu ada di sini untuk
terus bareng Aa. Ambu terus minta ma’af dan bilang bahwa Ambu sayang Aa, anak
pertama Ambu yang penuh simpati, anak baik yang gemar tersenyum dengan binar matanya,
anak anteng yang penurut. Masya Alloh Tabarokalloh...
Alhamdulillah operasi berjalan
lancar…
Dedek setia menemani Aa
Di ruang semi steril sebelum operasi
Sambil menunggu Aa pulih, Ambu
mengabari Abah, keluarga, dan tetangga. Alhamdulillah banyak sekali yang bantu
Ambu kala itu. Terima kasih untuk semuanya, ada Mamang Haiqal juga yang ikut
nemenin di RS. Juga para perawat yang salah satunya bernama Om ‘Franky’ yang sudah ikut menjaga Aa dan
Dedek.
Satu hal yang Ambu pelajari, kelalaian
orangtua di dalam proses pengasuhan seorang anak tidak serta merta menjadi
ajang penghakiman. Memang benar jika orangtua yang lalai patut untuk
disalahkan. Tapi perlu diingat, ada seorang anak yang tetap butuh sosok
orangtua tersebut. Di dalam hal ini adalah Aa Umar, yang tetap butuh Ambunya.
Ambu yang penyayang dan Ambu yang bahagia, seperti selama ini Aa Umar biasa
mengenalnya. Jadi, kurang tepat jika saat itu Ambu terus disalahkan akan
kejadian ini karena itu akan memperngaruhi konsentrasi Ambu dalam hal
membersamai Aa Umar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dokter anestesi.
Dokter perempuan ramah ini terus menguatkan Ambu tiap kali Ambu berujar bahwa
ini kesalahan ibunya. “Engga kok, Ibu. Bukan salah ibu. Memang hal ini harus
terjadi.”
Ada apa dengan duri ikan 20 juta?
Jadi harga ikan ini kurang dari dua puluh ribu namun duri yang menusuk amandel Aa Umar mengakibatkan rangkaian perawatan yang memakan dana sebesar dua puluh juta rupiah. Tidak. Sebenarnya ada nilai yang jauh lebih mahal yang harus Ambu bayar yaitu rasa trauma. Trauma bagi Aa Umar yang sampai saat ini belum mau makan ikan lagi, juga trauma bagi Ambu, bagi Abah, bahkan mungkin bagi Dedek.
Jadi harga ikan ini kurang dari dua puluh ribu namun duri yang menusuk amandel Aa Umar mengakibatkan rangkaian perawatan yang memakan dana sebesar dua puluh juta rupiah. Tidak. Sebenarnya ada nilai yang jauh lebih mahal yang harus Ambu bayar yaitu rasa trauma. Trauma bagi Aa Umar yang sampai saat ini belum mau makan ikan lagi, juga trauma bagi Ambu, bagi Abah, bahkan mungkin bagi Dedek.
Corpus Alienum (Ketulangan)
Penampakan duri ikan
Terakhir, memang kita harus
benar-benar mengawasi anak namun jika harus terjadi musibah seperti ini, hal
utama adalah meyakini bahwa ini sudah izin Alloh SWT, kita tidak akan dihisab
dan tinggal dihadapi saja. Mudah, bukan?
Tentu. Namun praktiknya biasanya
tidak semudah itu. Dibutuhkan support system yang baik untuk saling menjaga
perasaan.
Selesai juga ujian tersebut. Semoga
bisa membuat Ambu menjadi ibu yang lebih baik lagi. Ibu yang selalu yakin bahwa
walau tidak sempurna, Ambu tetap seorang Ibu yang selalu anak-anak butuhkan.
Alloh SWT tidak akan mengirimkan ujian di luar kemampuan hamba-Nya.
Alhamdulillah ‘ala kulli haal.
Segala puji bagi Alloh SWT pada setiap keadaan.
Buat yang udah baca sampai beres,
terima kasih ya, kamu luar biasa!
Salam sayang,
Ambu Mande.
Bismillah.. semoga bisa menjadi lebih baik lagi ya semuanya.. makin ceria+ semangat ponakan-ponakan sholeh onty. Aamiin Ya Rabbal Alaamiin.
BalasHapusAamiin...
HapusJazakillah, Onty Qintan. Onty kesayangan yang sering direpotin, merangkap jadi nanny kesukaan Aa dan Dedek. 😍😍😍
Wah masyaAllah ya ambu strong walau hati sdg teriris sakit karena rasa bersalah. aku tuh kalo udah gitu galau ga menentu ga bisa mikir lagi, di tambah sambil gendong dd. Buat pelajaran juga but aku, tidak mudah menyepelekan keluhan anak-anak. Karena memang anak-anak adalah tempat kita belajar banyak hal. Semangat terus ya ambu...
BalasHapusMakasih banyak Mbak Aci atas semangatnya...
HapusIya betul, ternyata yang banyak belajar itu kita ya sebagai ibunya. Sekali lagi makadih ya udah menyempatkan baca. 🤗
Masya Allah aku nangis baca ini 😭
BalasHapusMbak Efa...
HapusAku lupa kalo komen masuk itu harus dimoderasi (3 tahun vakum). 😫😫😫
Mbak Efa, makasih ya udah nyempetin baca. 🤗
MasyaaAllah ambu... langsung nyeesss bacanya. Kebayang gimana perasaan ambu saat itu, dan subhanallah ambu bisa kuat menghadapi semua itu dan suami yg sangat bijak dgn tidak menyalahkan bahkan memberi support
BalasHapusTerimakasih ambu untuk sharing pengalaman berharganya
Semoga ambu sekeluarga diberi kesehatan selalu
Aamiin...
HapusDo'a yang sama untukmu sekeluarga. ❤️
Ngomong-ngomong, kamu siapa hey ga ada namanya?
😅
Semangat ambu...
BalasHapustetap jadi ambu yang kuat, sabar dan menjadi kebanggaan anak serta suami 😍..
chaiyooooo
Aamiin... Insya Alloh...
HapusMakasih udah nyempetin baca ya, Bunda Fatih. 🤗
luar biasa sekali cerita ini ya kak..... aku sampe mikir awalnya, tulang ikan apa yang harganya sampai 20 juta. Pasti jadi pengalaman yang sangat berharga sekali ya kak
BalasHapusBacanya ikut deg degan Bunn.. Iya ya Bun sebaik baiknya kita berusaha namanya orang ya.. Saya juga kok bun rembes ketuban gak sadar padahal pas hamil ya di jaga banget... Akibatnya dedek lahir masuk NICU 10 hari :(
BalasHapusYa Allah... Peluk Mbak Inova...
HapusDuh...duri ikan. Ngilu bacanya :(. Semoga ke depannya anak-anak jadi suka makan ikan lagi, ya.
BalasHapusYa Allah ikut deg-degan bacanya mbak. Duri ikan kembung itu halus ya, aku pernah ngolah diblender tapi masih ada duri
BalasHapusYa Allah kebayang paniknya yaa pas kejadian gitu, namanya anak masih kecil gitu pastinya belum paham juga harus gimana, gegara keselek duri ikan yaa, terus sekarang sudah baik-baik kan?
BalasHapusSemangat Ambu, semoga Allah memberikan rejeki gantinya berkali-kali lipat dari ini, Dan rasa trauma anak bisa hilang dan mau makan ikan kembali.
BalasHapusYa ampun banyak makna yang didapat mbak agar terus memperhatikan anak sekecil apapun. Sehat selalu bersama keluarga ya kk.
BalasHapusMasyaAlloh, Ambu saya pernah merasakan hal yang sama dengan kasus yg berbeda, tapi qadaralloh anak saya kembali kepada Alloh lebih dulu. Semoga ambu dan keluarga sehat selalu....
BalasHapusPeluk Mbak Nessia...
HapusAl Fatihah untuk anakmu...